Akses Layanan Kesehatan dengan Mudah

Perawatan yang komprehensif untuk kesehatan anda
Layanan informasi tentang kondisi-kondisi medis anda dan tersedia akses ke
Klinik dan tim Dokter dengan e-Doctor.

Ikatan Dokter Indonesia | IDI


 Thursday, 22 Januari 2015       10:15 WIB       Berita    


TEMPO.COJakarta 

Dokter spesialis gizi medik, Inge Permadi, mengatakan detoksifikasi juga dikenal dalam metodologi kedokteran. Namanya colon cleansing atau pembersihan usus. (Baca: Mitos Manfaat Detoksifikasi Diet Buah)

Tahapan ini dilakukan untuk membuat foto usus. Caranya dengan mengkonsumsi obat pencahar yang membuat buang air besar menjadi lancar. 

Yang kedua, dengan banyak mengkonsumsi serat. “Ini adalah cara alami tubuh,” kata dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini.

Serat dikenal sebagai alat pembersih terampuh. Meski sedikit nilai gizinya, konsumsi serat dari sayur dan buah dapat membantu usus membuang sisa hasil pencernaan. (Baca: 10 Buah dan Sayuran untuk Depak Racun dari Tubuh)

“Kalau terlalu lama diendapkan, sisa ini bisa diserap lagi dan memicu pertumbuhan sel kanker,” katanya. Namun, Inge mengingatkan, meski serat memang penting, bukan berarti itulah satu-satunya yang harus dikonsumsi.

Tubuh masih perlu karbohidrat, protein, dan lemak. “Saya tidak setuju kalau hanya konsumsi sayur dan buah saja,” katanya. “Bukan hanya usus yang dibersihkan, organ lain juga perlu.”

Ahli gizi Emilia Achmadi sepakat dengan Inge. Tubuh manusia ibarat mesin dengan pengatur hormon dan enzim. Sudah kodratnya, kata dia, manusia membutuhkan zat makro nutrien, yaitu karbohidrat, lemak, dan protein. (Baca: Lee Hyori Tak Mau Lanjutkan Detoks Lemon

“Kalau diubah secara ekstrem, tubuh justru akan bereaksi secara ekstrem juga,” kata Emilia, pemilik situs kesehatan Nutritionisme.com ini. 

Ia mengilustrasikan, efek detoksifikasi terhadap tubuh adalah menurunkan kecepatan metabolisme. Ketika detoksifikasi rampung dan manusia kembali ke gaya hidup normal, pembakaran energi masih berlangsung dengan pola yang sama dengan saat detoksifikasi berlangsung. (Baca: 10 Makanan Sehat buat Musim Hujan)

Akibatnya, ketika makanan masuk dalam jumlah normal, metabolisme tubuh yang masih terpengaruh oleh masa detoksifikasi akan menganggapnya berlebihan. Hasilnya, kelebihan energi tersebut disimpan sebagai lemak. 

“Jangan salah, biasanya orang yang habis detoksifikasi tidak sadar bahwa kadar lemak tubuhnya justru naik," tutur Emilia. Sebab, detoksifikasi sudah merusak sistem tubuh. (Baca: Hati-hati Konsumsi Protein Saat Ginjal Sakit)

Ketimbang detoksifikasi, ia menyarankan penerapan gaya hidup normal. Tentu pola makan yang tidak bagus perlu diubah. "Tapi harus dilakukan secara perlahan,” ucap Emilia. 

Selain tubuh bisa beradaptasi, kondisi psikologis ikut mengimbangi secara bersamaan. Untuk mengubah kebiasaan, menurut dia, butuh setidaknya 3-6 bulan untuk melakukan hal baru secara rutin, sehingga tubuh bisa menerima dengan baik. (Baca: Sayuran Ini Sebaiknya Dimasak atau Dimakan Mentah?)

DIANING SARI | HP

Sumber : tempo.co